SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM (Insan Kamil”, menurut Pandangan Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli)

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah ciptaan yang paling sempurna dibanding ciptaan yang lain, manusia yang dibekali dengan akal dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. sungguh sangat unik ketika kita mengkaji manusia karena penuh misteri khususnya dalam hal pencapaian diri yang sempurna, meskipun hal itu sulit untuk diraih tapi dengan dibekali kelebihan yang ada pada diri manusia maka tidak menutup kemungkinan untuk bisa mencapainya.
Sebagaimana halnya Tasawuf, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Sedangkan intasari dari mistisisme, termasuk di dalam sufise ialah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Dalam dunia sufi berbagai macam aliran yang memiliki jalan yang berbeda untuk dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Salah satu nya, adalah Insan Kamil.
Makalah ini sangat penting dan berguna untuk menambah pengalaman, waawasan dan pengetahuan khususnya para pendidik dan para mahasiswa dengan berdiskusi bersama semoga memperoleh pemahaman yang dalam. Namun tidak mungkin penulis menyampaikan secara rinci pada makalah yang sifatnya terbatas ini. Oleh karena itu, penulis hanya mengambil satu topik “Insan Kamil”, menurut Pandangan Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi ‘Abd Al-Karim Al-Jilli
Nama lengkap tokoh ini ialah ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan “Syeikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu juga ia mendapat gelar “Quth al-Din” (poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, menurut pengakuannya ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H). Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli. Namun setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w.821).
Pada tahun 790 H ia berada di India pada saat itu memungkinkan tasawuf-falsafi dan tariqah-tariqah di India berkembang dengan pesat. Namun sebelum perjalanannya ke India ia berhenti di Persia dan belajar bahasa Persia, sehingga ia pun dapat menyelesaikan satu buah buku dengan judul, Jannat-u al-Ma’arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif di kota ini (Persia). Empat tahun  kemudian (803 H) ia pun berkunjung ke kota Kairo dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al-Qina’ an Wujud al-Istima dan kemudian ia meninggal dunia[1]
B.     Pengertian Insan Kamil
Insan Kamil adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofis ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis (ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.).[2] Secara umum, istilah "insan kamil" sering dimaknai orang sebagai manusia sempurna.[3]
Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik (karunia) yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār),Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār). Jika seseorang telah mampu mengosongkan aql dan qalbnya dari egoisme, keangkuhan, dan siafat buruk lainya dengan keikhlasan yang total, maka Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya[4]
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan Al insal Al kamil merupakan manusia yang sempurna, kemudian mereka mempunyai mental spiritual yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain yakni menempati Al Insan Al Kamil. sebagaimana firman Alloh dalam al-Quran Surah At tin:4 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
C.    Insan Kamil Menurut ‘Abd Al-Karim Al-Jilli
Ajaran al Jili Yang terakhir adalah mengenal Insan Kamil (manusia sempurna) sebagai suatu keharusan yang inheren dengan esensinya. Menurut al Jili, Muhammad adalah Al Insan al Kamil, karena mempunyai sifat-sifat al Haq (Tuhan) dan al Khalq (makhluk) sekaligus. Hal ini karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada Insan Kamil. Dan sesungguhnya al Insan al kamil itu adalah Ruh Muhammad yang diciptakan dalam diri nabi-nabi sejak dari nabi adam sampai nabi Muhammad, wali-wali serta orang-orang shaleh. Al Insan al Kamil di gambarkan diperumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya kecuali melalui cermin tersebut[5]
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini. Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad,
Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul “al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il” (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) Menurut al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa. al Jilli membagi insan kamil atas tiga tingkatan:
1)      Tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2)      Tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3)      Tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa[6]
Dengan filsafat insan kamilnya, Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:
Pertama, islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
Kedua, iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama  mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan memtaati syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek(atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluk-Nya secar ‘ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.
Keenam, shiddiqiyah, Istilah ini mengagambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yakin. Menurut Al-Jili seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan menyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.
Ketujuh, qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan[7]
D.    Karya-Karya Al-Jili
Sebagaimana riwayat hidupnya tidak banyak diketahui orang, sehingga karya-karya al-jili pun tidak banyak diketahui secara pasti, kita tidak bisa memperkirakan jumlah yang tepat dari hasil karyanya itu. namun yang dapat di sampaikan disini hanya beberapakitab saja diantara kitab-kitab beliau antara lain:
1.      'Aqidah al-Akabir al-Muqtabasahmin Ahzab wa Shalawa;  Kitab yang membicarakan tentang akidah (keyakinan) para tokoh sufi. Kitab ini tersimpan di perpustakaan Tripolis
2.      Arba'un Mautinan. Buku tentang perjalanan mistis  ini naskanya tersimpan di Dar al-Kutub al-Misriyyah, Kairo
3.      Bahr al-Hudus wa al-Qidam wa Mauj al-Wujud  wa  al-'Adam. Buku ini tidak ditemukan, tetapi keberadaannya sebagai karya al-Jili disebutkannya sendiri di dalam Maratib al-Wujud
4.      Al-Marqum fi Sirr al-Tawhid al-Majhul wa al-Ma'lum. Buku ini berbicara tentang rahasia kemahaesaan Allah. Naskahnya tidak ditemukan, namun, informasinya bisa ditemukan melalui karya yang lain, yakni al-Kamalat al-Ilahiyyah.
5.      Gunyah Arbab al-Sama' fi Kasyf al-Ghina' 'an Wajh al-Istma'. Buku ini menjelaskan tentang akhlak sufi dalam menempuh jalan tasawuf. Buku ini ditulis oleh al-Jili ketika dia berada di Kairo, pada tahun 803.
6.      Haqiqah al-Yaqin wa Zulfah wa al-Tamkin. Naskah yang hanya berisi 4 (empat) halaman ini menjelaskan tentang pokok keyakinan para sufi menyangkut masalah kemahaesaan Allah.
7.      Al-Manazir al-Ilahiyyah. Dalam naskah lain  karya  tulis ini berjudul Al-Manazir al-'Aliyyah. Berupa sebuah buku kecil yang memaparkan pengalaman kerohanian yang dirasakan oleh al-Jili. Sebelum memaparkan pengalaman rohaniah ini, dia menjelaskan lebih dahulu tentang dasar-dasar akidah yang wajib diyakini oleh setiap muslim.      
8.      Al-Insan al-Kamil fi Ma'rifat al-Awakhir wa al-Awail.   Kitab ini merupakan kitab yang paling populer. Naskahnya tersebar di berbagai perpustakaan, di antaranya terdapat di Dar al-Kutub al-Misriyyah, Kairo.  Karya tulisnya ini juga telah diterbitkan beberapa kali oleh Maktabah Shabih, dan Mustafa al-Babi al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut. Kitab ini terdiri atas dua jilid, 63 bab, jilid I 1-41 bab, jlid II bab 42 sampai 63 bab. Di dalam karyanya inilah al-Jili mengemukakan konsep al-Insan al-Kamil secara detail. Beberapa fragment dari karya tersebut telah diterjemahkan oleh Titus Burkehardt ke dalam bahasa Perancis, dengan judul De I'Homme Universal. Terjemahan tersebut disertai oleh beberapa anotasi dari Burkehardt. Hasil terjemaham Burkehardt tersebut, kemudian diterjemahkan pula oleh Angela Culme Seymour ke dalam bahasa Inggeris, dengan judul Universal Man[8]

E.     Konsep Insan Kamil Menurut Al-Qur’an
            Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al-Ahdzab/33:21:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
            Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
            Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah SWT
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
F.     Ciri - ciri Insan Kamil
Manusia Insan Kamil berdasarkan buku “Manusia Sempurna” mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[9]
1.      Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan.
Orang islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat, terutama berhubungan dengan penyiaran dan pembelaan serta penegakkan agama islam. Dalam surah al-Anfal:60,
2.      Cerdas serta pandai.
Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan (banyak memiliki informasi). Didalam surah az-Zumar : 9
3.      Ruhani yang berkualitas tinggi.
Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah, atau kalbu yang taqwa kepada Allah. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnya shalat, ia shalat dengan khusuk, bila mengingat Allah kulit dan hatinya tenang  bila disebut nama Allah bergetar hatinya bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan menangis.

G.    Ciri Insan Kamil yang Dapat Kita lihat Pada Diri Rasulullah SAW:[10]
a)      Sifat amanah (dapat dipercaya)
Amanah / dapat dipercaya maksudnya ialah dapat memegang apa yang dipercayakan seseorang kepadanya. Baik itu sesuatu yang berharga maupun sesuatu yang kita anggap kurang berharga.
b)      Sifat fathanah (cerdas)
Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang lebih baik.
c)      Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah perilaku yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam kehidupan sehari  hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni.
d)     Sifat Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan sesuai dengan kenyataan.
H.    Proses Pembentukan Insan Kamil
Proses atau tahapan pembentukan insan kamil dibedakan menjadi beberapa bagian antara lain :
1.      Proses Pembentukan Kepribadian.
Dapat dipahami bahwa insan kamil merupakan manusia yang mempunyai kepribadian muslim yang diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas dari keseluruhan tingkah laku baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun sikap batinnya. Tingkah laku lahiriyah seperti kata-kata, berjalan, makan, minum, berhadapan dengan teman, tamu, orang tua, guru, teman sejawat, anak famili dan lain-lainnya.
Sedangkan sikap batin seperti penyabar, ikhlas, tidak dengki dan sikap terpuji lainnya yang timbul dari dorongan batin, yakni terwujudnya perilaku mulia sesuai dengan tuntunan Allah SWT, yang dalam istilah lain disebut akhlak mulia yang ditempuh melalui proses pendidikan Islam. Sabda Rasululah SAW yang artinya: “sesungguhnya aku diutus adalah untuk membetuk akhlak mulia” Dalam kaitan dengan hal itu dalam satu hadits beliau pernah bersabda : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”.
Proses pembentukan kepribadian muslim sebagai individu dapat dilakukan melalui tiga macam pendidikan.
a)      Pranata Education (Tarbiyah Golb Al-Wiladah)
Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara tidak langsung. Proses ini dimula disaat pemilihan calon suami atau istri dari kalangan yang baik dan berakhlak. Sabda Rasulullah SAW :  “Pilihlah tempat yang sesuai untuk benih (mani) mu karena keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan sikap prilaku orang tua yang islam”.[11]
b)      Education by Another (Tarbiyah Ma’aghoirih).
Proses pendidikan ini dilakukan secara langsung oleh orang lain (orang tua di rumah tangga, guru di sekolah dan pemimpin di dalam masyarakat dan para ulama). Manusia sewaktu dilahirkan tidak mengetahui sesuatu tentang apa yang ada dalam dirinya dan diluar dirinya. Firman Allah SWT yang artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui apapun dan Ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati ” ( Q.S. An-Nahl : 78 )
c)      Self Education (Tarbiyah Al-Nafs)
Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang lain seperti membaca buku-buku, majalah, Koran dan sebagainya melalui penelitian untuk menemukan hakikat segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Menurut Muzayyin, Self Education timbul karena dorongan dari naluri kemanusiaan yang ingin mengetahui. Ia merupakan kecenderungan anugrah Tuhan. Dalam ajaran islam yang menyebabkan dorongan tersebut adalah hidayah. Firman Allah SWT yang artinya : “Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap makhluk bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thoha:50)
2.       Pembentukan Kepribadian Muslim sebagai Ummah.
Komunitas muslim ini disebut ummah. Abdullah al-Darraz membagi kajian pembentukan itu menjadi empat tahap, sebagaimana dikutip sebagai berikut : Pembentukan nilai-nilai Islam dalam keluarga, Memberikan bimbingan berbuat baik kepada anak, Memelihara anak dengan kasih sayang, Memberikan tuntunan akhlak kepada anggota keluarga


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Insan Kamil adalah manusia sempurna dan Tiga tingkatan insan kamil: Tingkat permulaan (al-bidāyah). Tingkat menengah (at-tawasut). Tingkat terakhir (al-khitām).

Maqam yang harus dilalui seorang sufi untuk insan kamil: Pertama, islam. Kedua, iman. Ketiga, ash-shalah. Keempat, ihsan. Kelima, syahadah. Keenam, shiddiqiyah. Ketujuh, qurbah.

Karya Al jilli yang populer Al-Insan al-Kamil fi Ma'rifat al-Awakhir wa al-Awail. 

Insan Kamil yang dapat kita lihat dari Rosululloh: Sifat amanah (dapat dipercaya), Sifat fathanah (cerdas), Sifat siddiq (jujur), Sifat Tabligh (menyampaikan)

Konsep Insan Kamil Menurut Al-Qur’an; Insan Kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al-hdzab/33:21:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.

Proses Pembentukan Insan Kamil antar lain; Proses Pembentukan Kepribadian, Pembentukan Kepribadian Muslim sebagai Ummah.


DAFTAR RUJUKAN

Asmaran, 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Asy’arie, Musa. 2002. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: Lesfi,
Murtalha, Muthari. 2003. Manusia Sempurna, Lentera, Jakarta
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung : CV Pustaka Setia, 2007
Supiana dan M. Karman, 2009 Materi Pendidikan Agama Islam. PT. Remaja Rosda Karya, Bandung
Syukur Amin M. dan Usman Fathimah, 2005.  Insan Kamil (Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMH) LEMBKOTA/Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf). CV. Bima Sejati, Semarang,
Toriqqudin, Moh. 2008 Sekularitas Tasawuf. Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. UIN Malang Press
Isa, Ahmadi Jalan ke Surga, diakses 10 Januari 2016 jam 11.53 http://ahmadiisa. blogspot.co.id/2011/12/al-jili.html
Ilham Ramadha, Ibnu Arabi, diakses pada  08 Januari 2016, dari http://www.academia.edu/ 3370 450/ibnu_arabi
Muhammad Fajar, Muhammad Faldi, Insan Kamil, diakses pada 08 Januari 2016, dari http://al qatiry .blogspot.com /2013/11/insan-kamil.html




[1] Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2007) , hlm. 279.
[2] Muhammad Fajar, Muhammad Faldi, Insan Kamil, diakses pada 08 Januari 2016, dari http://al qatiry .blogspot.com /2013/11/insan-kamil.html
[3] Ilham Ramadha, Ibnu Arabi, diakses pada  08 Januari 2016, dari http://www.academia.edu/ 3370 450/ibnu_arabi
[4] Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 74.
[5] Moh. Toriqqudin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. (UIN Malang Press 2008). hlm. 135
[6] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002) hlm. 56
[7] Al-Jili, Al-Insan Al-Kamil. Juz II tp, tt hlm. 130
[8] Ahmadi Isa, Jalan ke Surga, diakses 10 Januari 2016 jam 11.53 http://ahmadiisa. blogspot.co.id/2011/12/al-jili.html
[9]Muthari Murtalha,  Manusia Sempurna, ( Lentera, Jakarta, 2003 ), Hal. 23.
[10] Syukur Amin M. dan Usman Fathimah , Insan Kamil (Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMH) LEMBKOTA/Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf), (CV. Bima Sejati, Semarang, 2005 ), Hal. 71.
[11] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2009), Hal.70.

Tidak ada komentar: