TEORI KONTRUKTIFISME Pengembangan Teori dan Model Pembelajaran PAI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan sekarang ini Saat ini terdapat beragam inovasi baru terutama pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Dalam pemilihan pendekatan ini berinovasi baru membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Banyak metode yang disuguhkan dalam pembelajaran disekolah baik itu menggunakan metode ceramah atau tanya jawab sehingga hal demikian ini kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret. Seorang pendidik sebaiknya memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran dilaksanakan. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik belum tentu berhasi dalaml menanamkan konsep yang baik dan benar, bahkan bisa dapat memunculkan sumber kesulitan pembelajaran. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang kurang benar agar menjadi benar, kemudian pendidik membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Dari permasalahan tersebut, ada sebuah penelitian tentang konsep untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa memaknai pembelajaran karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa tersebut dan pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.





B.     Rumusan Masalah
1.    Apa Definisi Teori Konstruktivisme?
2.    Apa Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme?
3.    Bagaimana Konsep Dasar Teori Konstruktivisme?
4.    Bagaimana Model Pembelajaran Konstruktivisme?
5.    Bagaimana  Implementasi Teori Konstruktivisme?
6.    Apa Kelebihan dan Kekurangan Teori Kontruktifisme?
C.    Tujuan
1.    Untuk Mengetahui Definisi Teori Konstruktivisme.
2.    Untuk Mengetahui Konsep Dasar Keori Konstruktivisme.
3.    Untuk Mengetahui Mengaplikasikan Keori Konstruktivisme.
4.    Untuk Mengetahui Model Pembelajaran Konstruktivisme.
5.    Untuk Mengetahui Implementasi Teori Konstruktivisme.
6.    Untuk Mengetahui Kelebihan dan Kekurangan Teori Kontruktifisme.




DAFTAR ISI

Judul......................................................................................................................... 1
Bab I Pendahuluan................................................................................................. 2
a.       Rumusan Masalah................................................................................... 3
b.      Tujuan..................................................................................................... 3
c.       Daftar Isi................................................................................................. 4
Bab II Pembahasan................................................................................................. 5
a.       Definisi Teori Konstruktivisme............................................................... 5
b.      Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme................................................. 7
c.       Konsep Dasar Teori Konstruktivisme..................................................... 8
d.      Model Pembelajaran Konstruktivisme.................................................... 9
e.       Implementasi Teori Konstruktivisme..................................................... 11
f.       Kelebihan dan Kekurangan Teori Kontruktifisme................................. 13
Bab II Penutup....................................................................................................... 15
a.       Kesimpulan............................................................................................ 15


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Teori Konstruktivisme
Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam stuktur kognitif siswa yang berdasarkan pengalaman. Pengetahuan terbentuk bukan dari objek semata, melainkan dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap objek yang di amatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikontruksi dalam diri seseorang. Dengan demikian tidak bersifat statis melainkan bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat dan mengkontruksinya.[1]
Pada dasarnya pendekatan teori konstruktivisme dalam belajar adalah suatu pendekatan di mana siswa harus secara individual menemukan dan menstransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.[2]
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai  pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon. Konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia dalam membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Demikian ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Model pembelajaran ini dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang lahir dari gagasan Pieget dan vigotsky.
a)      Teori Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a.      Skemata. Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
b.      Asimilasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru.
c.       Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d.      Keseimbangan. Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.
b)   Teori Konstruktivisme Vygotsky
Karya Vygotsky dikemukakan Ratumanan (2004:45) bahwa didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem  komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini  untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.

B.     Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:[3]
1.      Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2.      Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3.      Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4.      Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
5.      Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar
6.      Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
7.      Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
8.      Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
9.      Menekankan bagaimana siswa belajar
10.  Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
11.  Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
12.  Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
13.  Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
14.  Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
15.  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata

C.    Konsep Dasar Konstruktivisme
Beberapa hal yang menjadi konsep dari teori konstruktivisme antara lain:
1.      Siswa Sebagai Individu yang Unik
Teori konstruktivisme berpandangan bahwa pembelajar merupakan individu yang unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik pula. Dalam teori ini tidak hanya memperkenalkan keunikan dan kompleksitas pembelajar tetapi juga secara nyata mendorong, memotivasi dan memberi penghargaan kepada siswa sebagai integral dari proses pembelajaran.
2.      Self Regulated Leaner(Pembelajar yang dapat mengelola diri sendiri )
Siswa dikembangkan menjadi seorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar yang efektif, yang sesuai dengan gaya belajarnya dan tahu bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu dalam situasi pembelajaran yang berbeda. Self Regulated Leaner termotivasi untuk belajar oleh dirinya sendiri, bukan dari nilai yang diperolehnya sebagai hasil belajar atau karena motivasi eksternal yang lain, misalnya dari guru atau orang tuanya.
3.      Tanggung Jawab Pembelajaran
Dalam konstruktivisme ini berpandangan bahwa tanggung jawab belajar bertumpu kepada siswa. Teori ini menekankan bahwa siswa harus aktif dalam proses pembelajaran, dan berbeda pendapat dengan pandangan pendidikan sebelumnya yang menyatakan tanggung jawab pembelajaran lebih kepada guru, sedangkan siswa berperan secara pasif dan reseptif. Disini para pembelajar mencari makna dan akan mencoba mencari keteraturan dari berbagai kejadian yang ada di dunia, bahkan seandainya informasi yang tersedia tidak lengkap.
4.      Motivasi Pembelajaran
Motivasi belajar secara kuat bergantung kepada kepercayaan siswa terhadap potensi belajarnya sendiri. Perasaan kompeten dan kepercayaan terhadap potensi untuk memecahkan masalah baru, diturunkan dari pengalaman langsung di dalam menguasai masalah pada masa lalu. Maka dari itu belajar dari pengalaman akan memperoleh kepercayaan diri, serta motivasi untuk menyelesaikan masalah yang lebih kompleks lagi.
5.      Kolaborasi Antarpembelajar
Pembelajar dengan keterampilan dan latar belakang yang berbeda diakomodasi untuk melakukan kolaborasi dalam penyelesaian tugas dan diskusi-diskusi agar mencapai pemahaman yang sama tentang kebenaran dalam suatu wilayah bahasan yang spesifik.
6.      Proses Top-Down (Proses dari Atas ke Bawah)
Dalam proses ini siswa diperkenalkan dulu dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dengan bantuan guru menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan untuk memecahkan masalah seperti itu. Pada prinsipnya pembelajaran dimulai dengan pemberian dan pelatihan keterampilan-keterampilan dasar dan secara bertahap diberikan keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks.[4]

D.    Model Pembelajaran Konstruktivisme
Salah satu contoh yang disarankan adalah memulai dari apa yang menurut siswa hal yang biasa, padahal sesungguhnya tidak demikian. Perlu diupayakan terjadinya situasi konfik pada struktur kognitif siswa. Contohnya mengenai cecak atau cacing tanah. Mereka menduga cecak atau cacing tanah hanya satu macam, padahal keduanya terdiri lebih dari satu genus (bukan hanya berbeda species). Berikut ini akan dicontohkan model untuk pembelajaran mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap dalam pembelajaran konstruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)
1.      Fase Eksplorasi
1)      Diperlihatkan tanah berisi cacing dan diajukan pertanyaan: “Apa yang kau ketahui tentang cacing tanah?”
2)      Semua jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan tulis jika perlu).
3)      Siswa diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan hal-hal yang tidak sesuai dengan jawaban mereka semula.
2.      Fase Klarifikasi
1)      Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
Siswa merumuskan kembali pengetahuan mereka tentang cacing tanah.
2)      Guru memberikan masalah berupa pemilihan cacing yang cocok untuk dikembangbiakkan.
3)      Siswa mendiskusikannya secara berkelompok dan merencanakan penyelidikan.
4)      Secara berkelompok siswa melakukan penyelidikan untuk menguji rencananya.
5)      Siswa mencari tambahan rujukan tentang manfaat cacing tanah dulu dan sekarang.
3.      Fase Aplikasi
1)      Secara berkelompok siswa melaporkan hasilnya, dilanjutkan dengan penyajian oleh wakil kelompok dalam diskusi kelas.
2)      Secara bersama-sama siswa merumuskan rekomendasi untuk para pemula yang ingin ber-“ternak cacing” tanah.
3)      Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang perkehidupan jenis cacing tanah tertentu sesuai hasil pengamatannya.[5]

E.     Implementasi Teori Konstruktivisme di Kelas
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan di kelas.[6]
1.      Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
2.      Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
3.      Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya.
4.      Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas.
5.      Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hipotesis yang mereka buat, terutama melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
6.      Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.[7] Selain itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.[8]

F.     Kelebihan dan Kekurangan Teori Kontruktifisme
A.    Kelebihan
a.      Berpikir: Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berpikir untuk menyelesaikan masalah, mencari idea dan membuat keputusan.
b.      Paham: Oleh karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
c.       Ingat: Oleh karena murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
d.      Kecerdasan sosial: Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
e.       Senang: Oleh karena mereka terlibat secara terus, mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat, maka mereka akan terasa senang belajar dalam membina pengetahuan baru. [9]
B.     Kelemahan
a.       Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan dari teori kotruktifimese ini dapat kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu aktif.
b.      Karakteristik setiap siswa berbeda-beda, tidak semua siswa dapat aktif dalam belajar, apalagi ketika proses pembelajaran berlangsung, ada saja siswa yang tidak berani untuk dapat aktif.
c.       Penekanan terhadap relativisme, yaitu pandangan bahwa semua bentuk pengetahuan dapat dibenarkan karena dibangun oleh para siswa terutama jika pengetahuan-pengetahuan tersebut mencerminkan konsesus masyarakat.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pada dasarnya Teori konstruktivisme disini diartikan sebagai suatu pendekatan di mana siswa harus secara individual menemukan dan menstransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.
Konsep dasar konstruktivisme merupakan suatu unsur dimana seseorang dapat membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
Implementasi Teori Konstruktivisme bila diterapkan di kelas akan terbentuk: a) Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar. b) Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon. c) Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. d) Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya. e) Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi. f) Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif.


DAFTAR PUSTAKA

Dalyono, Psokologi pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
Jeanne, Ormrod, Edisi Ke 6 Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jakarta: Erlangga, 2008.
Rusman, Model-Model Pada Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Suyono, Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2011.
Wasty, Soemanto, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998.
Winasanjaya, Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi Jakarta: Kencana, 2005.
http://www.asikbelajar.com/2014/08/kelebihan-dan-kelemahan-teori.html di akses 29/3/2016




[1]Winasanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta:Kencana,2005), hal 118.
[2] Rusman, Model-Model pada Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2 (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal 201.
[3] Dalyono, Psokologi Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hal 34.
[4] Suyono, Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar (PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2011), hal 111-115.
[5] Ratnawilisdahar,  Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran (Bandung: Erlangga, 2006), hal 103.
[6] Ormrod Jeanne, Edisi Ke 6 Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang (Jakarta: Erlangga, 2008), hal 78.
[7] Ibid., hal 79.
[8] Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan,  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), hal 89-90.
[9] http://www.asikbelajar.com/2014/08/kelebihan-dan-kelemahan-teori.html di akses 29/3/2016

Tidak ada komentar: