BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan
sekarang ini Saat ini terdapat beragam inovasi baru terutama pada proses
pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Dalam
pemilihan pendekatan ini berinovasi baru membuat siswa antusias terhadap
persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Banyak
metode yang disuguhkan dalam pembelajaran disekolah baik itu menggunakan metode
ceramah atau tanya jawab sehingga hal demikian ini kurang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret. Seorang
pendidik sebaiknya memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran
dilaksanakan. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik belum tentu berhasi
dalaml menanamkan konsep yang baik dan benar, bahkan bisa dapat memunculkan
sumber kesulitan pembelajaran. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan
gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah
konsepsi-konsepsi siswa yang kurang benar agar menjadi benar, kemudian pendidik
membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Dari permasalahan
tersebut, ada sebuah penelitian tentang konsep untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan
keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan
pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa memaknai pembelajaran karena
dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa tersebut dan pengalaman
yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Teori Konstruktivisme?
2. Apa Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme?
3. Bagaimana Konsep Dasar Teori Konstruktivisme?
4. Bagaimana Model Pembelajaran Konstruktivisme?
5. Bagaimana Implementasi Teori Konstruktivisme?
6.
Apa Kelebihan
dan Kekurangan Teori Kontruktifisme?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Teori Konstruktivisme.
2. Untuk Mengetahui Konsep Dasar Keori Konstruktivisme.
3. Untuk Mengetahui Mengaplikasikan Keori Konstruktivisme.
4. Untuk Mengetahui Model Pembelajaran Konstruktivisme.
5. Untuk Mengetahui Implementasi Teori Konstruktivisme.
6.
Untuk Mengetahui Kelebihan dan Kekurangan Teori Kontruktifisme.
DAFTAR ISI
Judul......................................................................................................................... 1
Bab I Pendahuluan................................................................................................. 2
a. Rumusan Masalah................................................................................... 3
b. Tujuan..................................................................................................... 3
c. Daftar Isi................................................................................................. 4
Bab II Pembahasan................................................................................................. 5
a. Definisi Teori Konstruktivisme............................................................... 5
b. Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme................................................. 7
c. Konsep Dasar Teori Konstruktivisme..................................................... 8
d. Model Pembelajaran Konstruktivisme.................................................... 9
e. Implementasi Teori Konstruktivisme..................................................... 11
f.
Kelebihan
dan Kekurangan Teori Kontruktifisme................................. 13
Bab II Penutup....................................................................................................... 15
a.
Kesimpulan............................................................................................ 15
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teori Konstruktivisme
Kontruktivisme adalah
proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam stuktur kognitif siswa yang
berdasarkan pengalaman. Pengetahuan terbentuk bukan dari objek semata, melainkan
dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap objek yang di amatinya.
Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi
dikontruksi dalam diri seseorang. Dengan demikian tidak bersifat statis melainkan
bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat dan mengkontruksinya.[1]
Pada dasarnya pendekatan
teori konstruktivisme dalam belajar adalah suatu pendekatan di mana siswa harus
secara individual menemukan dan menstransformasikan informasi yang kompleks,
memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.[2]
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari
apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat
belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon. Konstruktivisme
lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia dalam membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Demikian ini menyebabkan
seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Model pembelajaran ini dikembangkan dari
teori belajar konstruktivisme yang lahir dari gagasan Pieget dan vigotsky.
a)
Teori
Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget
yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran
menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses mengkonstruksi,
sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a.
Skemata. Sekumpulan konsep yang digunakan
ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata. Sejak kecil
anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema).
Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing
dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat
menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci
berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif
anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua.
Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses
penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
b.
Asimilasi. Asimilasi adalah proses kognitif
dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke
dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang
sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian
atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan
terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan
perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru.
c.
Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau
pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru
dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama
sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang
akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang
cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d.
Keseimbangan. Ekuilibrasi adalah keseimbangan
antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi
adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi,
ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur
dalamnya.
b)
Teori
Konstruktivisme Vygotsky
Karya Vygotsky dikemukakan Ratumanan (2004:45) bahwa didasarkan pada dua
ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau
dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan
bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang
diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan
memecahkan masalah, dengan demikian perkembangan kognitif anak
mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan belajar menggunakan
sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
B. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri
proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:[3]
1. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4. Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
5. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar
6. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
7. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
8. Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
9. Menekankan bagaimana siswa belajar
10. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan
siswa lain dan guru
11. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
12. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
13. Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
14. Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
15. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman
baru yang didasarkan pada pengalaman nyata
C.
Konsep Dasar Konstruktivisme
Beberapa hal yang
menjadi konsep dari teori konstruktivisme antara lain:
1. Siswa Sebagai Individu yang Unik
Teori konstruktivisme
berpandangan bahwa pembelajar merupakan individu yang unik dengan kebutuhan dan
latar belakang yang unik pula. Dalam teori ini tidak hanya memperkenalkan
keunikan dan kompleksitas pembelajar tetapi juga secara nyata mendorong,
memotivasi dan memberi penghargaan kepada siswa sebagai integral dari proses
pembelajaran.
2. Self Regulated Leaner(Pembelajar yang dapat mengelola diri sendiri )
Siswa dikembangkan menjadi seorang yang memiliki
pengetahuan tentang strategi belajar yang efektif, yang sesuai dengan gaya
belajarnya dan tahu bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu dalam
situasi pembelajaran yang berbeda. Self Regulated Leaner termotivasi untuk
belajar oleh dirinya sendiri, bukan dari nilai yang diperolehnya sebagai hasil
belajar atau karena motivasi eksternal yang lain, misalnya dari guru atau orang
tuanya.
3. Tanggung Jawab Pembelajaran
Dalam konstruktivisme ini berpandangan bahwa tanggung
jawab belajar bertumpu kepada siswa. Teori ini menekankan bahwa siswa harus
aktif dalam proses pembelajaran, dan berbeda pendapat dengan pandangan pendidikan
sebelumnya yang menyatakan tanggung jawab pembelajaran lebih kepada guru,
sedangkan siswa berperan secara pasif dan reseptif. Disini para pembelajar
mencari makna dan akan mencoba mencari keteraturan dari berbagai kejadian yang
ada di dunia, bahkan seandainya informasi yang tersedia tidak lengkap.
4. Motivasi Pembelajaran
Motivasi belajar secara kuat bergantung kepada
kepercayaan siswa terhadap potensi belajarnya sendiri. Perasaan kompeten dan
kepercayaan terhadap potensi untuk memecahkan masalah baru, diturunkan dari
pengalaman langsung di dalam menguasai masalah pada masa lalu. Maka dari itu
belajar dari pengalaman akan memperoleh kepercayaan diri, serta motivasi untuk
menyelesaikan masalah yang lebih kompleks lagi.
5. Kolaborasi Antarpembelajar
Pembelajar dengan keterampilan dan latar belakang yang
berbeda diakomodasi untuk melakukan kolaborasi dalam penyelesaian tugas dan
diskusi-diskusi agar mencapai pemahaman yang sama tentang kebenaran dalam suatu
wilayah bahasan yang spesifik.
6. Proses Top-Down (Proses dari Atas ke Bawah)
Dalam proses ini siswa diperkenalkan dulu dengan
masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dengan bantuan guru menemukan
keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan untuk memecahkan masalah
seperti itu. Pada prinsipnya pembelajaran dimulai dengan pemberian dan
pelatihan keterampilan-keterampilan dasar dan secara bertahap diberikan
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks.[4]
D.
Model Pembelajaran Konstruktivisme
Salah satu contoh yang
disarankan adalah memulai dari apa yang menurut siswa hal yang biasa, padahal
sesungguhnya tidak demikian. Perlu diupayakan terjadinya situasi konfik pada
struktur kognitif siswa. Contohnya mengenai cecak atau cacing tanah. Mereka
menduga cecak atau cacing tanah hanya satu macam, padahal keduanya terdiri
lebih dari satu genus (bukan hanya berbeda species). Berikut ini akan
dicontohkan model untuk pembelajaran mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap
dalam pembelajaran konstruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)
1.
Fase Eksplorasi
1) Diperlihatkan tanah berisi cacing dan diajukan pertanyaan: “Apa yang kau
ketahui tentang cacing tanah?”
2) Semua jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan tulis jika perlu).
3) Siswa diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya, dan
diberi kesempatan untuk merumuskan hal-hal yang tidak sesuai dengan jawaban
mereka semula.
2.
Fase Klarifikasi
1) Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
Siswa merumuskan
kembali pengetahuan mereka tentang cacing tanah.
2) Guru memberikan masalah berupa pemilihan cacing yang cocok untuk
dikembangbiakkan.
3) Siswa mendiskusikannya secara berkelompok dan merencanakan penyelidikan.
4) Secara berkelompok siswa melakukan penyelidikan untuk menguji rencananya.
5) Siswa mencari tambahan rujukan tentang manfaat cacing tanah dulu dan
sekarang.
3.
Fase Aplikasi
1) Secara berkelompok siswa melaporkan hasilnya, dilanjutkan dengan penyajian
oleh wakil kelompok dalam diskusi kelas.
2) Secara bersama-sama siswa merumuskan rekomendasi untuk para pemula yang
ingin ber-“ternak cacing” tanah.
3) Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang perkehidupan jenis cacing
tanah tertentu sesuai hasil pengamatannya.[5]
E.
Implementasi Teori Konstruktivisme di Kelas
Berdasarkan ciri-ciri
pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang
penerapan di kelas.[6]
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam
belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa
serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan
identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan
dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan
tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah
masalah (problem solver).
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan
kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan
seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru
mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong
siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
3. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme
akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik
respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan
dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan
mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya.
4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi
dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial
dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah
atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk
megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang
lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan
atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk
mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas.
5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan
mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi,
seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini.
Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hipotesis yang mereka buat, terutama
melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
6. Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan
materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan
konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena
alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan
abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut
secara bersama-sama.[7] Selain itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata
memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam
benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara
mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi
siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan
menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat
membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus
diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna
belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta
didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka
pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan
kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta
didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai
kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari
persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan
sehingga diperoleh konstruksi yang baru.[8]
F.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Kontruktifisme
A.
Kelebihan
a.
Berpikir: Dalam proses
membina pengetahuan baru, murid berpikir untuk menyelesaikan masalah, mencari
idea dan membuat keputusan.
b.
Paham: Oleh karena
murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih
faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
c.
Ingat: Oleh karena
murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua
konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka.
Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi
baru.
d.
Kecerdasan sosial:
Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam
membina pengetahuan baru.
e.
Senang: Oleh karena
mereka terlibat secara terus, mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi
dengan sehat, maka mereka akan terasa senang belajar dalam membina pengetahuan
baru. [9]
B.
Kelemahan
a.
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan dari
teori kotruktifimese ini dapat kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran
guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu aktif.
b.
Karakteristik
setiap siswa berbeda-beda, tidak semua siswa dapat aktif dalam belajar, apalagi
ketika proses pembelajaran berlangsung, ada saja siswa yang tidak berani untuk
dapat aktif.
c.
Penekanan
terhadap relativisme, yaitu pandangan bahwa semua bentuk pengetahuan dapat
dibenarkan karena dibangun oleh para siswa terutama jika
pengetahuan-pengetahuan tersebut mencerminkan konsesus masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya Teori
konstruktivisme disini diartikan sebagai suatu pendekatan di mana siswa harus
secara individual menemukan dan menstransformasikan informasi yang kompleks,
memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.
Konsep dasar
konstruktivisme merupakan suatu unsur dimana seseorang dapat membina
pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
Implementasi Teori
Konstruktivisme bila diterapkan di kelas akan terbentuk: a) Mendorong
kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar. b) Guru mengajukan pertanyaan
terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon.
c) Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. d) Siswa terlibat secara aktif
dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya. e) Siswa terlibat dalam
pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi. f) Guru memberika
data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif.
DAFTAR PUSTAKA
Dalyono, Psokologi pendidikan, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2009.
Jeanne, Ormrod, Edisi Ke 6 Psikologi
Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jakarta: Erlangga,
2008.
Rusman, Model-Model Pada Pembelajaran
Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Suyono, Belajar dan Pembelajaran Teori dan
Konsep Dasar, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2011.
Wasty, Soemanto, Psikologi Pendidikan Landasan
Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998.
Winasanjaya, Pembelajaran dalam implementasi
kurikulum berbasis kompetensi Jakarta: Kencana, 2005.
http://www.asikbelajar.com/2014/08/kelebihan-dan-kelemahan-teori.html
di akses 29/3/2016
[1]Winasanjaya, Pembelajaran
dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta:Kencana,2005),
hal 118.
[2] Rusman, Model-Model
pada Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2 (Jakarta:
Rajawali Press, 2012), hal 201.
[4] Suyono, Belajar
dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar (PT Remaja Rosdakarya:
Bandung, 2011), hal 111-115.
[6] Ormrod Jeanne, Edisi
Ke 6 Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang (Jakarta:
Erlangga, 2008), hal 78.
[8] Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin
Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), hal 89-90.
[9] http://www.asikbelajar.com/2014/08/kelebihan-dan-kelemahan-teori.html
di akses 29/3/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar