BAB I
PENDAHULUAN
Gender
telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana
perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam
perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir
ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi
dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan
ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan
diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat
internasional, negara, keagamaan, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan
rumah tangga.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan
peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat
cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi,
serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Makalah ini sangat penting dan berguna
untuk menambah pengalaman, waawasan dan pengetahuan khususnya para pendidik dan
para mahasiswa dengan berdiskusi bersama semoga memperoleh pemahaman yang
dalam. Namun tidak mungkin penulis menyampaikan secara rinci pada makalah yang sifatnya
terbatas ini. Oleh karena itu, penulis hanya mengambil topik-topik yang
penting, diantaranya; Penciptaan Manusia, Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Kehidupan, Kesetaraan Perempuan dengan Laki-laki.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Riwayat Bukhori Muslim (Penciptaan Manusia):
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ
عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ
ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ
تَرَكْتَهلَمْيَزَلْأَعْوَجَفَاسْتَوْصُوابِالنِّسَاء
Artinya: “Dari Abi Hurairah: Nabi bersabda: berwasiatlah tentang perempuan, karena sesungguhnya
mereka tercipta dari tulang, dan utlang yang paling bengkok adalah yang paling
tertinggi. Jika engkau berusaha meluruskan berarti engkau merusaknya, jika
dibiarkan akan tetap bengkok.”
Hadis tersebut berisi pesan Nabi kepada kaum laki-laki waktu itu untuk
berlaku baik kepada isteri-isteri mereka atau kepada kaum perempuan secara
umum. Pesan Nabi tersebut salah satu manifestasi dari semangat ajaran Islam
yang hendak menempatkan laki-laki dan perempuan secara sejajar[1]
Berdasarkan hadits tersebut muncul berbagai penafsiran di kalangan jumhur
ulama, berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 1, ulama tafsir mengartikan bahwa wanita
itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, dan mengartikan kata nafs mengacu
pada Adam, ada pula yang mengacu pada istri Adam, yaitu Hawa. Kemudian para
mufassir masa lalu membuat kesan negatif terhadap wanita bahwa wanita itu
berasal dari laki-laki.[2] Akan tetapi hal ini disangkal oleh pakar
tafsir kontemporer yang tidak sependapat dengan para mufassirin, mereka
berpendapat berdasarkan surat al-Qiyamah ayat 37-39, yaitu: “Bukankah dia
dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim) Kemudian mani itu menjadi
segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu Allah
menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.”
Allah telah menyamakan
kedudukan laki-laki dan perempuan dalam bentuk tanggung jawab terhadap apa yang
terjadi pada fase penciptaan pertama. Secara umum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang
sama dalam setiap aspek kehidupn, seperti seruan untuk berbuat yang ma’ruf dan
menjauhkan yang mungkar.[3]
Ha ini diperkuat sebuah
hadits:
من لم يهتم بامر
المسلمين فليس منهم
Artinya: “Barang siapa yan
tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk
golongan mereka.”
B. Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Kehidupan
Peranan wanita dan laki-laki adalah sama, hal ini terbukti dalam firman
Allah: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki dan perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik.” (An-Nahl: 97),
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain.” (Al-Imran: 195).
Berdasarkan ayat tersebut, kadar kewajiban laki-laki dan perempuan untuk
mempraktikkannya sama, Termasuk menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim laki-laki dan perempuan. Begitu pula beramal saleh, juga merupakan
kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, tidak benar
jika sesungguhnya kaum perempuan tidak boleh keluar rumah untuk beramal dan
merasakan pendidikan. Sebagaimana dalam firman Allah:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î tböqyg÷Ztƒur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qß™u‘ur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy™ ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# ͕tã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ
Artinya: “Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At-Taubah: 71)
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa peran dan tanggungjawab perempuan dalam Islam adalah
bertanggungjawab khusus yang berkaitan dengan urusan ibadah dan pribadi mereka,
dan bertanggungjawab umum yaitu melaksanakan dakwah dan melibatkan diri dalam
usaha amal kebajikan dan memberi bimbingan sosial di samping melakukan
usaha-usah mencegah kemungkaran. Kedua tanggungjawab ini diberikan kepada kaum
perempuan tanpa dibedakan dengan kaum laki-laki.[4] Kaum
perempuan juga berhak mengenyam pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki,
sebagaimana dalam suatu hadits Nabi saw, yaitu:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya: “menuntut ilmu
itu, wajib bagi setiap orang Islam.” (Ibn Majah)
C. Kesetaraan Perempuan dengan Laki-laki (Transgender)
Pengertian Gender
adalah suatu konsep kultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan
antara wanita dan pria baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial
budaya. Pria dan wanita secara sexual memang berbeda. Begitu pula secara
perilaku dan mentalitas. Namun perannya di masyarakat dapat disejajarkan dengan
batasan-batasan tertentu.
Kesan yang ditimbulkan dari pemahaman Islam tradisional adalah kuatnya
hegemoni kaum pria terhadap kaum wanita.[5] Hal ini
ditunjukkan dengan institusi poligami yang didominasi kaum laki-laki,
kepemimpinan yang dikhususkan di tangan pria, harga kaum wanita yang setengah
dari harga pria dalam kesaksian, akiqah, dan warisan.
Gambaran seperti inilah yang sering menjadi target sasaran bagi gerakan
kesetaraan gender yang selalu menuding bahwa Islam memperlakukan kaum wanita
dengan cara yang tidak adil. Merespon isu tetang kesetaraan antara pria dan wanita, “Munawir
Sadzali dalam upayanya mengangkat harkat dan martabat wanita dalam Islam”
menyatakan bahwa menurut Islam, kedudukan pria dan wanita itu sama.
Dia mendasarkan pernyataan itu dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13: Artinya: “Sesungguhnya orang yang
merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah
diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala
yang besar”
Ayat di atas dijadikan dasar oleh orang Islam, bahwa Islam mengajarkan
prinsip persamaan derajat berdasarkan kebangsaan, kesukuan, dan keturunan.
Dihadapan Allah semua manusia itu mempunyai kedudukan yang sama antara satu
dengan yang lain dan yang membedakan tingkat antara mereka adalah kadar
ketakwaan kepada Allah. Sebagaimana hadits
rosulullah: Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rosulullah bersabda: “orang mu’min
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan
sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.”
Ada beberapa faktor mengenai kesetaraan Gender Faktor internal
yng pertama ialah pola pemikiran masyarakat Kedua, keadaan
ekonomi, Ketiga, tingkat minat akan keadaan sosial berubah kearah yang
lebih baik. Faktor eksternal yang pertama ialah cepatnya arus
globalisasi. Kedua, keadaan pemerintahan. Jika dihubungkan, surat
al-Hujarat ayat 13 dengan pembahasan gender adalah kesamaan konteks tentang
tidak adanya perbedaan antara manusia satu dengan yang lain. Dan bisa dikatakan
gender sudah ada sejak zaman Rasulullah. Buktinya dengan tokoh perempuan pada
masa Rasul turut andil menyebarkan agama Islam. Contoh Aisyah yang menjadi
periwayat hadits yang terpercaya. Gender tidak muncul begitu saja akan tetapi
gender berkembang dengan konstruksi sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan
tingkat dan pemahaman yang berbeda, dari karakteristik, sifat, terutama adat
kebiasaan.[6]
Quraish Shihab menunjukkan kecenderungan bahwa penciptaan laki-laki dan
perempuan adalah dari unsur yang sama. Kemudian ia mengemukakan surat
Ali-Imran: 195 sebagai usaha Al-Qur’an untuk mengikis habis semua tanggapan
yang membedakan laki-laki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Secara lebih spesifik Satori menekankan bahwa Islam telah mengangkat harkat
perempuan. Al-Qur’an menegaskan kemanusiaan perempuan dan kesejajarannya dengan
laki-laki (Al-Hujurat: 13); perempuan dan laki-laki diciptakan dari unsur tanah
yang sama dan dari jiwa yang satu. (Al-A’raf: 189); proses dan fase pembentukan
janin laki-laki dan perempuan tidak berbeda (Al: Qiyamah: 37-39); Islam
menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi perempuan bila komitmen dengan
iman dan menempuh jalan yang shaleh, seperti halnya dengan laki-laki. (Al-Nahl:
97); perempuan yang dilakukan perempuan setara dengan apa yang dilakukan
laki-laki. Amal masing-masing dihargai oleh Allah (Ali-Imran: 195); perempuan
adalah makhluk yang menyertai laki-laki di dunia dan juga akhirat (Al-Nisa:
124); ayat-ayat Al-Qur’an berbicara baik pada laki-laki maupun perempuan.
Kemudian polemik di tengah-tengah masyarakat yang secara mendasar
memandang rendah kaum wanita, karena dua asumsi berbeda tapi saling memperkuat.
Pertama asumsi materialistic masyarakat yang menempatkan kaum wanita pada
posisi rendah karena sedikitnya peranan mereka dalam proses produksi dan
ekonomi. Kedua, asumsi teologis yang dianut masyarakat Madinah dipengaruhi oleh
ajaran agama yang mereka anut, perempuan dipandang rendah dibandingkan
laki-laki[7]
Ada beberapa faktor mengenai kesetaraan Gender Faktor internal
yng pertama ialah pola pemikiran masyarakat Kedua, keadaan
ekonomi, Ketiga, tingkat minat akan keadaan sosial berubah kearah yang
lebih baik. Faktor eksternal yang pertama ialah cepatnya arus
globalisasi. Kedua, keadaan pemerintahan. Jika dihubungkan, surat
al-Hujarat ayat 13 dengan pembahasan gender adalah kesamaan konteks tentang
tidak adanya perbedaan antara manusia satu dengan yang lain. Dan bisa dikatakan
gender sudah ada sejak zaman Rasulullah. Buktinya dengan tokoh perempuan pada
masa Rasul turut andil menyebarkan agama Islam. Contoh Aisyah yang menjadi
periwayat hadits yang terpercaya. Gender tidak muncul begitu saja akan tetapi
gender berkembang dengan konstruksi sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan
tingkat dan pemahaman yang berbeda, dari karakteristik, sifat, terutama adat
kebiasaan.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian Gender
adalah suatu konsep kultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan
antara wanita dan pria baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial
budaya. Pria dan wanita secara sexual memang berbeda. Begitu pula secara
perilaku dan mentalitas. Namun perannya di masyarakat dapat disejajarkan dengan
batasan-batasan tertentu.
wanita itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, dan mengartikan kata nafs
mengacu pada Adam, ada pula yang mengacu pada istri Adam, yaitu Hawa. Kemudian
para mufassir masa lalu membuat kesan negatif terhadap wanita bahwa wanita itu
berasal dari laki-laki.
Peranan wanita dan laki-laki adalah sama, hal ini terbukti dalam firman Allah:
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki dan perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik.” (An-Nahl: 97),
DAFTAR RUJUKAN
Ananda Arfa, Faisar. 2004. Wanita
dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus
Haitsam Al-Khayyath, Muhammada. 2007.
Problematika Muslimah Di Era Modern, Jakarta: Erlangga
http://rayhania.abatasa.com/post/detail/14916/kesetaraan-gender-pembahasan-hadits-hadits-misoginis
Kamarul Azmi Jasmi, dkk, 2008 Wanita
dalam Dakwah dan Pendidikan, Malaysia: University Teknologi Malaysia,
Purwadi, Agus. 2000. Islam & Problem
Gender. Yogyakarta: Aditya Media
[1]
http://rayhania.abatasa.com/post/detail/14916/kesetaraan-gender-pembahasan-hadits-hadits-misoginis
[2] Muhammada
Haitsam Al-Khayyath, Problematika Muslimah Di Era Modern, (Jakarta:
Erlangga, 2007), hal. 34.
[4] Kamarul Azmi
Jasmi, dkk, Wanita dalam Dakwah dan Pendidikan, (Malaysia: University
Teknologi Malaysia, 2008), hal. 3.
[5] Faisar Ananda
Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004), hal. 100.
[6]
https://tafsirhaditsb.wordpress.com
[8]
https://tafsirhaditsb.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar